Sabtu, 02 Oktober 2010

SUMBER DAN PRINSIF-PRINSIF YANG MEMPENGARUHI HUKUM (Hukum Pidana Islam)

BAB I

PENDAHULUAN 

A. LATAR BELAKANG
               
            Pada masa Jahiliyah, tidak ada kesamaan di antara manusia. Tidak ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa, antara si kaya dan si miskin, antara pria dan wanita. Dengan datangnya Islam, semua perbedaan atas dasar ras, warna kulit, bahasa dsb  dihapuskan. Syariat memberi tekanan yang besar pada prinsif sabda Rasulullah SAW yang artinya: " Wahai manusia, kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama, bangsa Arab tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketakwaan".
         Prinsif kesamaan tidak hanya terkandung dalam teori dan filosofi hukum Islam , tetapi dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah SAW dan para khalifah penerus beliau. Pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, seorang wanita dari suku yang kuat di dakwa kasus pencuri, beberapa anggota keluarga wanita itu pergi menjumpai Rasulullah SAW meminta pembebasan si wanitatadi dari hukuman yang ditentukan. Maka Rasulullah SAW dengan tegas menolak perantaraan itu dengan menyatakan  " Seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, ikatan kekeluargaannya tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman Had (Hukuman yang menjadi hak Allah).
        Syari'at Islam juga tidak mengakui pengistimewaan terhadap orang-orang itu. Abdul kadir Audah menyebutkan beberapa pembedaan yang dilakukan sistem hukum pidana modern. Keistimewaan itu antara lain yang diberikan kepada para kepala negara asing, anggota-anggota parlemen, orang-orang kaya, anggota masyarakat terhormat. Apabila mereka melakukan suatu tindak pidana, maka perlakuan yang di terima akan berbeda dengan anggota masyarakat biasa.
        Sebaliknya, syariat Islam menerapkan suatu Equality before the law yang lengkap sejak 14 abad yang lalu. sementara itu baru di kenal dalam hukum modern pada akhir abad 18 dalam bentuk yang kurang lengkap.

B. RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaimana kedudukan sumber Hukum Islam di tengah keberlakuan Undang-Undang Indonesia? 
  2. Prinsif-Prinsif apa saja yang mempengaruhi Hukum?
  3. Mengapa tidak sah Hukuman karena keraguan?

BAB II
PEMBAHASAN

 A. SYARI'AT SEBAGAI SUMBER HUKUM

        Suatu hal yang agak krusial sehubungan dengan syariat islam dalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam syariat itu dapat dibedaan kedalam Hudud dan Ta'zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya  (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara Ta'zir hanya merumuskan delik tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya (berdasarkan putusan hakim). Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah dibidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung melihat kepada sanksinya, dan bukan pada perumusan deliknya, dan bukan pada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain adalah hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan , hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya.
        Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan hukum keluarga yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya. Sudah barang tentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsif-prinsif umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fiqh apalagi kalau ingin transformasi ke dalam huku positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran, pembunuhan karena kelalaian, pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan dsb. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya. Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak di kenal di dalam hudud walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati di terima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendati pun secara tegas disebutkan di dalam hudud.
        Pada tim yag di bentuk oleh Menteri kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum di dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat Nasional. Karena itu tidak mengherankan jika ada delik pidana adat seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain yang sebelumnya tidak ada dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum islam walaupun tidak dalam pemidanaannya.Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah. Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Khatolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan misalnya pasangan kumpul kebo bukanlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanannya ,emgambil jenis pemidanaan dari Hukum Belanda, yakni Pidana Penjara. Dari uraian penulis yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari'at Islam, Hukum Islam maupun Fiqh Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
         Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. sebagaimana juga halnya , jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum Publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam meruuskan kaidah-kaidah hukum nasional. Di negara kita, bukan saja hukum islam dalam pengertian syariat yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah di terima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita.
         Ketika hukum positif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum Nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum Nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara adat. Dimanapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekuler, pengaryh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekuler, tetapi siapa yang mengatakan hukum HIndu tidak mempengaruhi hukum India modern.
        Ada beberapa studi yang menela'ah pengaruh Budhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. hukum perkawinan Philipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini buka pengaruh dari agama Khatolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yag nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran huukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus  mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.

B. PRINSIF-PRINSIF YANG MEMPENGARUHI HUKUM

           Agar kekuasaan negara tidak tunduk terhadap Undang-Undang atau prinsif yang berlaku dan bertujuan menjadikan pemerintah untuk kaidah-kaidah yang mengharuskan kepadanya, sebagaimana juga mengharuskan kepada terhadap semua rakyat. Seluruh perbedaan tidak mengetahui konsep ketundukan pemerintah terhadap dasar-dasar yang atasnya atau mengikat kekuasaannya. Sebab pemerintah dinilai sebagai Tuhan, atau minimal sebagai pelaksana kehendak Tuhan, selanjutnya adalah tidak memungkinkan bagi siapapun untuk mengoreksi pemerintah atau meragukan kekuasaan dan hak-haknya. Dengan demikian pemerintah menikmati kekuasaan mutlak tanpa batas, sedangkan rakyat terhalang dengan segala hak da
lam menghadapi pemerintah, termasuk dari hak kepemilikan tanah.
       Tegaknya Negara Islam, pada prinsif dan jaminannya. Jika kondisi dari perbedaan lama di eropa sepanjang abad pertengahan didominasi oleh sistem otoriter dan absolut dan tidak memberikan kebebasan bagi individu. Dengan demikian Negara Islam adalah negara yang berdasarkan Undang-Undang mengharuskan pemerintah untuk tunduk kepada undang-undang tersebut serta melaksanakan kekuasaannya sesuai kaidah-kaidah luhur yang membatasinya.
        Berikut ini, penjelasan yang mempengaruhi hukum sehingga jaminan Islam tentang ketundukan negara terhadap undang-undang baik secara teori maupun praktek.

1. Eksistensi Syariat sebagai Undang-Undang

          Hukum-hukum Islam, dinilai sebagai Undang-Undang di negara Islam yang bersifat meningkat sebagai suatu kewajiban yang mendasar dan syarat keharusan bagi ketaatan rakyat.

           Sesungguhnya menjadikan Undang-Undang yang bersumber dari agama adalah demi menjaga hukum-hukumnya karena manusia merasa takut kepada Allah jika berupaya lari dan merasakan dalam diri mereka pengawasan Allah jika pengawasan manusia melemah.
          Bersumbernya Fiqh Islam dari agama bertujuan mewujudkan komprehensifitas kekuasaannp terhadap pemerintah dan rakyat sehingga di antara hak manusia adalah jika mereka mengatakan kepada pemerintah anda terikat dengan hukum syari'at dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, maka keterkaitan Undang-Undang dengan agama merupakan ikatan bagi pemerintah dan pendidikan bagi rakyat.

2. Pemisahan Tiga Kekuasaan Dalam Islam

        Pendapat kuat dalam Fiqh Islam mengatakan bahwa sistem Islam telah mengenal prinsif pemisahan antara tiga kekuasaan umumdi negara yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Hanya saja kepemimpinan ketiga lembaga ini pada masa Nabi SAW dan Khulafaurrasyidin  adalah kepala Negara itu sendiri.
          Sebagaiman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memahami sepenuhnya prinsif pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Sebab ketika dia mengetahui kezaliman terhadap penduduk, dia tidak memutuskan sendiri padahal dia dapat melakukan hal tersebut, karena dia sebagai Khalifah kaum muslimin. Beliau juga tidak memerintahkan penyelesaian hal tersebut kepada gubernurnya dan tidak pula menyerahkan hal tersebut kepada komandan pasukan yag melakukan pelanggaran. Akan tetapi dia memerintahkan hakim itu untuk menyelesaikan kasus mereka sebab hakim tidak dapat  memberikan keputusan secara mandiri dan terbebas dari intervensi khalifah dan gubernur, tidak terpengaruh dengan penilaian apapun dalam militer atau politik dan kekuasaaannnya terpisah dari lembaga lainnya.

3. Ketundukan Pemerintah Kepada Undang-Undang

       Syari'at Islam memjadikan asas hubungan antara pemerintah dan rakyat untuk merealisasikan kemaslahatan umum, meninggalkan kepada umat hak pemilihan pemerintah yang mengatur dan menjaga kemaslahatan umat. Sebagaiman Firman Allah yang artinya: " Dan hendaklah kamu menetapkan hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah". (Q.S.Al-Maidah ayat 49).
       Dan Firman-Nya:"Kemudian jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan agama itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Q.S. Al-JAziat ayat 18).
        Jika pemerintah terikat untuk mengikuti syariat dan mengatur urusan manusia sesuai nash-nashnya, maka demikian artinya bahwa kekuasaan pemerintah berlaku padanya. Sedangkan apa yang diharamkan Syari'at maka tiada kekuasaan pemerintah kepadanya.
       Itulah gambaran tentang ketundukan pemerintah Islam kepada otoritas Undang-Undang dan pengamalan sistem islam terhadap teori-teori pemerintah kontemporer yang tercermin dalam hukum pembatalan dan hukum penggantian akibat ketetapan-ketetapan pemerintah yang menyalahi Undang-Undang.

4. Pengakuan Islam Terhadap Hak dan Kebebasan Manusia
         
          Islam juga telah mengenal konsep dan hak kebebasan manusia didepan pemerintah, demikian itu telah dikenal pada 10 abad sebelum dikemukakannya konsep itu para soiologi abad 16 M. Hak-hak individu dan kebebasan umum yang ditetapkan islam mengcakup beberapa bentuk di antaranya hidup, hak kebebasan individu, hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan mengajar, hak kepemilikan, hak bekerja dan keadilan sosial. Terlebih tentang hak dan kebebasan khussus dengan kaum muslimin.

5. Pengawasan Peradilan Terhadap Pemerintah

            Terakhir, bahwa Islam menetapkan jaminan ketundukan Negara terhadap Undang-Undang dengan jaminan tegaknya pengawasan peradilan terhadap segala tindakan pemerintah, sehingga ketundukan semua aparat pemerintah terhadap pengawasan peradilan merupakan keteladanan ter
hadap seluruh warga negara. Dan pengawasan pemerintah ini, telah dilaksanakan sejak 14 Abad dalam amaliah Khulafaurrasyidin dan para hakin Salaf serta perkataan para Imam Mazhab Fiqh .
       Adapun di antara syarat bagi seorang hakim, kezaliman adalah terus tinggi posisinya, dilaksanakan pemerintahnya, besar wibawahnya dan jelas bersihnya. Sebab tugas ini membutuhkan perlindungan dan kekokohan peradilan.

C. PENGARUH TIDAK SAHNYA HUKUMAN KARENA KERAGUAN

         Berkaitan dengan asas praduga tak bersalah diatas batalnya hukuman karena adanya keraguan. Nas dari Hadis jelas dalam hal ini:" Hindarkan Hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum". Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan tanpa adanya keraguan.
ng mencuri sesuatu yang dia miliki bersama orang lain, hukuman had bagi pencurian menjadi tidak valid, karena di dalam kasus ini harta itutidak secara khusus dimiliki orang lain. Tetapi menyebabkan prasangka adanya kepemilikan, juga dari pelaku perbuatan itu.
        Dalam kaitan keraguan ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ramai atau tidak pentingnya sesuatu dapat pula memunculkan keraguan sehingga pencurian benda itu tidak menjamin diterapkannya haddr. Sehingga dalam kejahatan-kejahatan hudud,keraguan membawa pembebasan setiap dakwa dan pembatalan hukum hadd. Akan tetapi ketika membatalkan hukuman hadd ini, hakim masih memiliki otorietas untuk menjatuhkan hukum Ta'zir kepada terdakwa jika diperlukan.



BAB III

ANALISA


         Syari'at sebagai sumber hukum dalam islam, sehingga setiap upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menegakkan Syari'at Islam, maka memang banyak hal-hal yang mempengaruhi kebijakan itu, baik dari kalangan non Islam  maupun dari Islam itu sendiri. sehingga sampai sekarang ini, syari'at Islam belum bisa diterapkan secara keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum pidana islam karena banyaknya perseteruan ataupun perbedaaan yang mendasar dalam pola atau cara penerapan ialam walaupun secara garis besar hukum islam itu sudah ada diterapkan secara keseluruhan untuk orang islam itu sendiri terutama dari segi muamalat.
        Islam mempunyai trik tersendiri di dalam memberikan kejelasan hukum kepada orang islam yang berlandasan kepada Al-Qur'an dan Hadits. Sehingga penyelesaian suatu masalah tidak menimbulkan banyak kontroversi karena sudah dipatenkan dalam Al-Qur'an dan Had
its dan dapat diperjelas dengan penegak hukum yang faham atas syari'at islam. jadi keberlakuan hukum islam mempunyai dampak positif yang banyak boring islam sendiri, karena hukum islam itu sendiri seseorang bisa jerah dengan perbuatannya dan bisa dijadikan pelajaran bagi yang lainnya.
        Begitu banyak prinsif-prinsif yang mempengaruhi hukum sehingga atas diterapkannya hukum pidana Islam menimbulkan banyak perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Karena dari garis besar islam itu sendiri telah menyetujui atas dasar hukum pidana umum diberlakukan dengan jaminan yang telah dikomitmenkan kepada pemegang garis besar Islam. Sehingga syari'at Islam hanya dapat diterapkan secara
perlahan-lahan karena banyaknya pemikiran-pemikiran yang dapat mempengaruhi hukum.
      Berdasarkan hadis yang telah diuraikan maka hukum tidak boleh dijatuhkan kepada seseorang dalam keadaan ragu,tetapi harus dijatuhkan dengan keyakinan tanpa adanya keraguan sehingga hasil putusan hakim dapat tercipta dengan adil dan bijaksana serta tidak menimbulkan kejahatan-kejahatan ta'zir, karena dasar daripada aplikasi yang mempengaruhi prinsif ini tidak meliputi kejahatan-kejahatan Ta'zir.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

        Dari paparan di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Syari'at sebagai sumber hukum Islam hanya memberikan aturan-aturan pokok atau asas-asasnya saja, maka yag menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional. Namun di negeri kita bukan saja hukum Islam dalam pengertian Syari'at yang dijadikan sebagai sumber hukum , akan tetapi hukum adat, hukum eks kolonial Belana yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah di terima masyarakat.
  2. Prinsif-prinsif yang mempengaruhi hukum adalah:
  • Eksistensi Syari'at sebagai Undang-Undang
  • Pemisahan Tiga Kekuasaan Dalam Islam  yaitu: Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif
  • Ketundukan Pemerintah Islam pada Undang-Undang
  • Pengakuan Islam terhadap hak dan kebebasan manusia 
  • Pengawasan peradilan terhadap pemerintah
   3. Dalam kejahatan-kejahatan Hudud, keraguan membawa pembebasan pada si terdakwa dan pembetulan         hukum had. Akan tetapi ketika membatalkan hukum hadd ini, hakim masih memiliki otoritas untuk 
       menjatuhkan hukum ta'zir kepada terdakwa jika diperlukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar