Minggu, 03 Oktober 2010

NIKAH MUT'AH (Kawin Kontrak)

A.DEFINISI NIKAH MUT'AH
        
          Nikah Mut'ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi. di esbut juga pernikahan sementara (Az.zawaj Al-Mu'aqqat). Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut'ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Mut'ah merupakan perjanjia pribadi dan verbal antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan  (gadis, janda cerai maupun janda di tinggal mati). untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan.
          Dalam nikah Mut'ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar (mas kawin) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi  (mahar), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Seoerti dinyatakan di muka. Tujuan nikah mut'ah adalah kenikmatan seksual (istimta'), sehingga berbeda dengan tujuan pernikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-nasl).
          Hanya sedikit kewajiban timbal balik dari pasangan nikah mut'ah ini. Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafkah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yag harus ia lakukan dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu, pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit
untuk menaati suami kecuali dalam urusan seksual.
          Dalam pernikahan permanen, pihak istri mau tidak mau harus menerima laki-laki yag menikah dengannya sebagai kepala rumah tangga. Dalam pernikahan Mut'ah segala sesuatu tergantung kepada ketentuan yang mereka putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen, pihak istri atau suami, baik mereka suka atau tidak, akan saling berhak menerima warisan secara timbal balik, tetapi dalam pernikahan mut'ah keadaannya tidak demikian.

B.HUKUM NIKAH MUT'AH

          Pada awal tegaknya islam nikah mut'ah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadis Jabir Bin Abdillah R.a. dan Salamah Bin Al-Akwa R.a "Bahwa Rasullullah SAW pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah Mut'ah."(H.R Muslim).
       Al-Imam Al-Muzani Rahimakumullah berkata:" Telah sah bahwa nikah mut'ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam, kemudian datang hadis-hadis yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.
       Dan Nabi SAW bersabda " Wahai manusia sesungguhnya aku dulu pernah mengiz
inkan kalian untuk melakukan nikah mut'ah, namun sekarang Allah SWT telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat."(H.R.Muslim).
      Adapun nikah mut'ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat dizaman kekhalifahan Abu Bakar R.a dan Umar R.a maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut'ah selama-lamanya.
      Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi SAW, jelas sekali gambaran nikah mut'ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat R.a gambaran tersebut dapat di rinci sebagai berikut:
  1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang , bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (H.R.Muslim hadits no 1404).
  2. Tidak ada istri atau budak yang ikut dalam perjalanan tersebut. (H.R. Bukhari no 5116 dan Muslim no 1404).
  3. Jangka waktu nikah mut'ah hanya 3 hari saja (H.R. Bukhari no 5119 dan Muslim no 1405).
  4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (H.R.Muslim no 1406).
 C. PANDANGAN KOMPREHENSIF ISLAM
        
               Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikaha bukan semata umtuk melampiaskan nafsu syahwat tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahtera. Dalam tinjauan sosiologi, kedudukan keluarga sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara umum.
              Untuk mencapai tujuan pernikahan itu persayaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Islam. Pernikahan di anggap sah misalnya, Jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Sebagaimaa hadis riwayad Ahmad
" Pernikahan itu tidak sah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil".
              Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari pihak keluarga yag secara simbolikoperasional diwakili oleh wali pihak perempuan . Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujua  perempuan yang akan dinikahkan .
           Pernikahan bagi pasangan laki-laki dan perempuan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami istri mereka akan menjalin relasi dan berurusan dengan banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagia dari anggota masyarakat.
         Sebagai masyarakat modern akan lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara prosedural administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat. Denga tercatat, maka akan ada data penting menyangkut status seorang warga sehingga berbagai penyelewengan status dapat dieliminasi.
         Undang-Undang perkawinan no 1 tahun 1974 adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari'atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam Undang-Undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah.
         Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syariat dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum islam maupun hukum nasional).
         Pernikahan yang tercatat (sesuai dengan UU no 1 tahun 1974) dan PP No. 09 tahun 1975 sesuai dengan semangat kemaslahatan yang menjadi landasan syariat Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama ushul fiqh, sertiap hukum syari'at itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.
        Maslahat menurut Abdullah adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadat dari manusia.
       Sedangkan Al-Khawarizmi mendefinisikan maslahat adalai umah memelihara maqasid asy-syariah dengan menolak mafsadat dari umat.Al-Buti memandang maslahat adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syar'i untuk hamba-Nya dengan memelihara agama,jiwa,akal,keturunan dan harta.
       Dengan demikian orang yang meneliti hukum syariat akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah memlihara kehidpan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih manfaat dan menghilangkan mafsadat.

D. NIKAH MUT'AH MENURUT TINJAUAN SYI'AH RAFIDHAH
         
           Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi'ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut'ah, Dua kesalahan tersebut adalah

1. Penghalalan nikah mut'ah yang telah di haramkan oleh Allah dan Rasul-Nya

                Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut'ah itu sendiri dikalangan mereka. As-Shaduq dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul  Faqih dari As-shadiq berkata: Sesungguhnya nikah mut'ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku . Barang siapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barang siapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami."
             Di dalam halaman yang sama, As-shaduq pernah mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya:" Apakah nikah mut'ah itu memiliki pahala?" Maka beliau menjawab "Bila dia mengharapkan wajah Alllah, maka tidaklah ia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berijma' ketika nikah mut'ah) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya."
         Bahkan As-sayyid Fathullah Al-Kasyaani di dalam tafsir Manhajish Shadiqiin melecehkan kedudukan para Imam mereka sendiri ketika berdusta atas Nabi SAW bahwa belaiu bersabda:" Barang siapa melakukan nikah mut'ah satu kali maka derajatnya seperti  Al-Husain, barang siapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barang siapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali R.a, dan barang siapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku."

2. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut'ah Ala Syi'ah Rafidhah       

1. Akad nikah 

                Di dalam Al-Furu' dia menyatakan bahwa Ja'far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang : "apa yang kamu kepada wanita yang akan dinikahi bila aku telah berduaan dengannya?" Maka beliau menjawab:"Engkau katakan:Aku menikahimu secara mut'ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah nabinya, namun engkau tidak akan mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadamu selama sehari atau setahun denga upah senilai dirham demikian dan demikian. Engkau sebutka jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak." Apabila wanita tersebut mengatakan:" Ya"berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya.


2. Tanpa disertai wali si wanita

             Sebagaimana Ja'far As-shadiq berkata:"Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yag masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.

3. Tanpa disertai saksi

4. Dengan siapa saja nikah mut'ah boleh dilakukan?
    Seorang pria boleh mengerkjakan nikah mut'ah dengan
  • Wanita Majusi
  • Wanita Nashara dan Yahudi
  • Wanita pelacur
  • Wanita pezina
  • Wanita sepersusuan
  • Wanita yang telah bersuami
  • Istrinya sendiri atau budak waitanya yang telah digauli
  • Wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait
  • Sesama pria yang di kenal dengan homoseks

5. Batas usia wanita yang di mut'ah

          Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut'ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu.

6. Jumlah wanita yang di mut'ah

         Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu ja'far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan.

7. Nilai upah

       Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut'ah telah diriwayatkan dari Abu Ja'far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum atau kurma sebanyak telapak tangan.

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut'ah dengan seorang wanita?

          Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?

           Kaum syia'h rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model.
  • Bila seorang suami ingin bepergian, maka ia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya,atau siapa saja yang ia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama diperjalanan.
  • Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. itu semua dalam rangka memuliakan tamu.
10. Nikah Mut'ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin syi'ah
      rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut'ah.


11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya,atau bibinya           dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi.

12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran.      
      bahkan dimasa Al-Allamah Al-Alusi ada pasar mut'ah yang dipersiapkan padanya para wanita dengan 
      didampingi para penjaganya (germo). Ali Bin Abi Tholib R.a menentag Nikah Mut'ah


             Bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut'ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam shahih Muslim diriwayatkan tentang penetangan Ali Bin Abi Thalib R.a yang di tahbiskan kaum Syi'ah Rafidhah sebagai Imam mereka terhadap nikah mut'ah. Ali mengatakan "Sesungguhnya Nabi SAW telah melarang nikah mut'ah dan daging keledai piaraan pada saat perang khaibar." Ali R.a juga mengatakan bahwa hukum nikah mut'ah telah di mansukh (di hapus) sebagaimana di dalam shahih Bukhari Hadits No.5119).

E. TINJAUAN HISTORIS SOSIOLOGIS

             
         Sebagaiman terdapat dalam sumber-sumber Syi'ah , Nikah Mut'ah merupakan suatu fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktikkan oleh para sahabat sejak Era permulaan islam, yaitu sejak wahyu pertama dan Hijrah nabi ke Medinah. Seperti dalam peristiwa Zubair As-Shahabi yang menikahi Asma',putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan sementara (Mut'ah).
          Maih menurut sumber Syi'ah , nikah mut'ah juga dipraktikkan semenjak hijrah hingga wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah pertama dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah kedua, kaum muslimin meneruskan praktik itu sampai sampai di larang oleh Umar Bin Khattab sebagai Khalifah kedua.
          Tentu saja historisitas seperti ini di tolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi SAW sudah melarang Nikah Mut'ah sejak perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah, seperti tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syi'ah mengabaikan hadis-hadis seperti ini? jawabnya adalah, karena kaum Syi'ah mempunyai argumen tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan hadits. Kaum Syi'ah hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu Al-Bait dan jika terdapat hadits yang bertentangan dengan riwayat ahlul bait, maka hadits tersebut di tolak.
       Mengenai larangan Umar terhadap praktek Nikah Mut'ah, menarik untuk dicermati bahwa larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqh kaum sunni. Analisis yang bisa dikemukakan disini adalah , apakah larangan itu terkait dengan kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah islam (kebijakan politik).
       Jika dipahami ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah islam, maka akan ditemuka relevansinya denga persoalan umat saat itu,. Pada Era Umar, umat islam (para sahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para sahabat itu diberi kebebasan untuk melakukan nikah mut'ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan Mut'ah yang tidak jelas warna corak keislamannya. dengan alasan inilah, maka Umar melarang nikah mut'ah, sehingga dapat dipahami, larangan ini bukan larangan permanen tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan keummatan saat itu.
        Sepintas Nikah Mut'ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustad Ahmad Baraghbah nikah mut'ah justru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam mut'ah perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak laki-laki. Dengan kewenangan ini perempuan dapat meningkatkan bargainning positionnya bila akan melaksanakan nikah mut'ah.
         Secara Sosiologis, nikah mut'ah bukan menjadi persoalan serius ketika dipraktikkan dalam kondisi mas
yarakat muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang maju. Anggota masyarakat muslim ini mempunyai otonomi pribadi atau kewenangan individual yang penuh dalam menentuka nasibnya. Dalam tradisi Persia atau Iran sekarang, Nikah Mut'ah bukanlah sumber penyakit sosial seperti yang diasumsikan oleh kalangan Sunni.
        Para perempuan Iran khussunya, mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah mut'ah, sehingga dalam praktiknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah mut'ah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan dan pendidikannya masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah mut'ah dalam komunitas masyarakat muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komunitas pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan berlipat bagi perempuan dan anak-anak.


Dosen pengampu

Muhammad Wahib,Lc,M.A














    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar