Senin, 04 Oktober 2010

DZIHAR


A.PENGERTIAN ZIHAR

        Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.

        Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.[1]

      Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (muhrim) baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.

       Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.[2]

B. HUKUM ZIHAR

       Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
  1. Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
  2. Penzihar wajib membayar kafarat zihar[3]
        Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.

         Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.[4]
 
         Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan muhrim suaminya, misalnya suami mengatakan " Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung saudara perempuanku

         Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan muhrim suami adalah zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang muhrimnya yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-lamanya.

        Segolongan ulama yang lain mengatakan, menyamakan istri dengan salah seorang mahram yang bukan ibu atau menyamakan istri dengan selain punggung ibu adalah juga termasuk zihar. 

        Dasar Hukum zihar adalah terdapat dalam Surat Al-Mujadalah ayat 1-4 beserta dengan asbabun nuzulnya ayat 1-6 mengenai kasus Aus Bin Ats-Tsamid yang menzihar istrinya bernama Khaulah Binti Malik Ibn Tsalabah. Dasar hukum zihar itu juga berdasarkan riwayat Salamah Ibn sahl Al-Bayadi yang menzihar istrinya di bulan Ramadhan. Di samping itu dasar hukum zihar adalah Surat Al-Ahzab ayat 4.[5]

Artinya:" Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu. Dan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar."(Q.S.Al-Ahzab:4).[6]


[1] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat:hal 154
[2] http://www.pesantrenvirtual.com/index
[3] Ibid.djaman:154
[4] Ibid 155
[5] Ibid djaman hal 155
[6] Ibid 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar