Selasa, 21 Desember 2010

Pengadilan Hak Azazi Manusia (HAM)


BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undangundang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk
pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM,dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.


BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pembentukan Pengadilan HAM

Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran- pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya.[1] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter. Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor-timur pasca jejak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.[2]

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timortimur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya pelanggaran HAM di Timor-Timur .

Dorongan untuk adanya pembentukan peradilan internasional ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat antara keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM di Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak.

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistic seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.[3]

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma 1999 untuk bias diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif. para pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu sesuai dengan prinsip International Criminal Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus. [4]

Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat.


  1. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan HAM

Kepentingan untuk mengadakan proses peradilan untuk kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan melalui mekanisme nasional mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional. Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggung jawaban pelanggaran HAM yang terjadi tetapi penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif.

Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh Komnas HAM.
Karena berbagai alasan Perpu No. 1 Tahun 1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut :

1.Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22      ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kepentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2.Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
· Kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.
· Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
· Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.
· Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif.
Setelah adanya penolakan Perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang Pengadilan HAM. Dalam penjelasannya, pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah :

Pertama, Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsabangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia.
Kedua, Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999.
Ketiga, Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

Dari ketiga alasan di atas, landasan hokum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000.[5]

  3. Pengaturan tentang Pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka Pengadilan HAM perlu dibentuk.
Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan ini memberikan 3 mekanisme untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketika adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.[6]
Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan  genosida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang kurang tepat. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam istilah pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan bagian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminology “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan ke dalam kitab undang-undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampaui asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana.

Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yaitu peradilan pidana perkara pidana biasa dan pengadilan HAM untuk mengadili kejahatan yang tergolong pelanggaran HAM yang berat menurut UU No. 26 Tahun 2000. Atas “ketidaktepatan” ini maka UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan dating harus dirubah dan diintegrasikan ke dalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secara cepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya ke arah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis.[7]

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. UU No. 26 Tahun 2000 secara substansi banyak melakukan pengadopsian dari norma-norma hokum internasional terutama norma-norma dalam Rome Statute of International Criminal Court. Kelemahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:

a.      Kedudukan dan Tempat Kedudukan

          Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.[8]
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :  

1. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadwal persidangan akan sangat bergantung dengan jadwal persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri tempat Pengadilan HAM ini digelar.
2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat
3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri,namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.[9]


b.      Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM

          Kewenangan memeriksa dan mengadili Perkara pelanggaran HAM yang berat yang berwenang memutus dan memeriksa adalah pengadilan HAM. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyengkut perkara tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.

Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia.[10]

UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah :

1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
 
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
e. memindahkan secara paksa anakanak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :

 a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana Pasal 340 KUHP.
 b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hokum internasional.
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah pengawasan.
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

           Pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya (element of crimes).

Definisi tentang kejahatan genosida dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 secara umum tidak ada persoalan dalam artian sudah sesuai dengan beberapa norma yang berkaitan dengan pengaturan genosida dalam ketentuan hukum internasional. Ketentuan tersebut adalah Pasal 6 dari Statuta Roma tentang ICC dan Article II Genocide Convention 1948 yang mendefinisikan genosida sebagai 5 (lima) perbuatan tertentu atau khusus yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan (intent to destroy) suatu kelompok etnis, rasial atau agama.
Berbeda dengan pengertian tentang kejahatan genosida, definisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap banyak mengalami distorsi terutama dalam beberapa pengertian kunci tentang delik kejahatan ini. Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dari Statuta Roma ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep- tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu :

1. Tidak ada kejelasan mengenai unsure meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension), hal ini akan berakibat adanya berbagai macam interpretasi atas pengertian di atas. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Statuta Roma yang menjelaskan secara tegas mengenai intension.12
2. Penerjemahan directed against any civillian population menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, yang seharusnya ditujukan kepada populasi sipil. Kata “langsung” ini bias berimplikasi pada seolah-olah hanya pelaku di lapangan saja yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. Istilah “penduduk” untuk menterjemahkan kata “population” telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah yang akan menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya kepada warga negara dimana kejahatan tersebut berlangsung.
3. Penerjemahan istilah “prosecution” menjadi penganiayaan. Prosecution mempunyai arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan teror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut.
4. UU No. 26 Tahun 2000 tidak memasukkan tentang kejahatan yang termasuk rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dalam huruf k Pasal 7 Statuta Roma yaitu perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Alasan tidak dimasukkan rumusan ketentuan ini dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah adanya pengertian bahwa ketentuan ini tidak memberikan kepastian hokum dan memiliki penafsiran yang luas.

Adanya distorsi karena proses pengadopsian dan penerjemahan yang tidak memadai ini menjadikan pengertian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan tidak sama atau berbeda rumusannya dengan dengan pengertian yang ada dalam hokum internasional dalam hal ini dengan ketentuan Statuta Roma sebagai dasar rujukannya. Disamping itu tidak adanya element of crimes secara jelas untuk mendefinisikan bentuk-bentuk kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ini akan melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan karena dapat ditafsirkan sendiri-sendiri.[11]


BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah di atas maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

Pengaturan tentang pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Yurisdiksi dari pengadilan HAM adalah untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Pengadilan HAM juga mempunyai kewenangan untuk memutuskan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan hambatan-hambatan yuridis dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tersebut.
Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain tidak secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang seharusnya juga disertai dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilah HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “extraordinary crimes”.
Kelemahan-kelemahan UU No. 26 Tahun 2000 dalam prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan terobosan-terobosan hukum untuk menafsirkan atau menerjemahkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim. Kedepan, untuk memperkuat jaminan kepastian hukum dan pencapaian keadilan kepada korban maka UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini perlu diamandemen sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman pelaksanaan peradilan-peradilan HAM sebelumnya.


[1] Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hlm.31.

[2] Kompas, 15 April 1998.
[3] Krist L. Kleden, Peradilan Pidana Sebagai Pendidikan Hukum, Komnas, 11 September 2000.
[4] Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm.54.
[5] http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f=PolperadilanHAM.htm

[6]ibid
[7] ibid
[8]  Undang-undang No. 26 Tahun 2000 dalam  aturan peralihan Pasal 45   ayat 2
[10] http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f=PolperadilanHAM.htm

[11] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar