Selasa, 21 Desember 2010

Li'an (Menuduh Istri Berbuat Zina)


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Li’an
Menurut bahasa li’an diambil dari kata la’nun artinya laknat (kutukan). Maksunya adalah laknat atau kutukan Allah kepada suami –istri yang saling bermula’anah atau saling kutuk yang lima kali menggucapkan kesediaan dilaknat oleh Allah.[1]
Menurut istilah syara’ li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Atau dengan kata lain suami menuduh istrinya berzinah, dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.[2]
Ada orang yang berkata li’an itu berarti menjauhkan suami istri yang ber-mula’anah. Disebut demikian kerena sesudah li’an mereka akan mendapat dosa dan dijauhkan satu sama lain selama-lamanya. Jika salah satunya dusta dialah dilaknat oleh Allah.
B.   Praktek Li’an
Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar. Pada kali yang kelima, ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta.
Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah juga empat kali yang kelima ia juga mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar.[3]
C.   Dasar Hukum
Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina adalah firman Allah dalam surat An Nuur ayat 6 dan 7
 Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah 4 kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” “Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah (akan ditimpahkan) atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.[4]
Atas tuduhan suaminya ini, istri dapat menyangkal dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suaminya itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksian yang kelima istri tersebut bersumpah bahwa dia bersedia menerima laknat dari Allah jika suaminya benar dalam tuduhannya.


Dasar hukum penyangkalan istri terhadap tuduhan suaminya ini adalah firman Allah dalam surat An Nur ayat 8 dan 9.  yangArtinya :
“istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa suaminya itu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah (akan ditimpahkan) atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.
Secara maknawi (formal) keturunan itu dihubungkan kepada orang yang setempat tidur (suami). Karenanya penting bagi manusia adanya cara yang benar kalau tidak mau mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai keturunannya karena adanya hal-hal yang merusaknya. Cara yang dimaksud itu adalah li’an. Jadi, li’an adalah ketetapan yang sah menurut Al-Qur’an, sunnah, qias dan ijma’. karena itu tidak ada perbedaan pendapat lagi di antara para ulama.  
Dengan adanya sumpah li’an berarti terjadilah perceraian suami istri tersebut, dan mereka tidak boleh kawin kembali untuk selama-lamanya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw “ dari Ibn Abbas bahwa nabi bersabda : dua suami istri yang telah saling berli’an itu, setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selama-lamanya.
Li’an dalam KHI dibahas dalam banyak pasal, yaitu dari pasal 125 sampai 128 ditambah satu pasal pada Bab XVII bagian kelima mengenai akibat, yaitu pasal 162. Selengkapnya pasal-pasal itu dapat diliht sebagai berikut
Pasal 125
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-istri untuk selama-lamanya.

Pasal 126
Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara Li’an diatur sebagai berikut:
 i.      Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: “laknat Allah atas dirinya, apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.”
ii.      Istri menolak tuduhan dan atau pengingkran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: “ Murka Allah atas dirinya, bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.”
iii.   Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
iv.   Apabila tata cara huruf a tidak diikuti huruf b, maka dianggap tidak terjadi lian.
Pasal 128
Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan Pengadilan Agama.
Pasal 162
Akibat Li’an
 Bilaman li’an itu terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari memberi nafkah.
D.            Terjadinya Li’an
Li’an ada dua macam yaitu sebagai berikut:
1.  Suami menuduh istri berzina, tetapi ia tidak memiliki empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
2.  Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.
Yang pertama dapat dibenarkan jika ada laki-laki yang menzinainya seperti suami melihat laki-laki tersebut menzinainya atau istri mengakui perbuatan zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut.
Akan tetapi jika tidak terbukti bahwa ada laki-laki yang menzinainya, suami boleh menuduhnya berbuat zina dan boleh tidak mengakui kehamilan istri walau dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya atau ia merasa mencampurinya, tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.[5]


BAB II
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
a.        Li’an adalah laknat (kutukan), Maksudnya adalah laknat atau kutukan Allah kepada suami –istri yang saling bermula’anah atau saling kutuk yang lima kali mengucapkan kesediaan dilaknat oleh Allah.
b.        Dasar hukum Li’an terdapat dalam surat An Nuur ayat 6 dan 7, hadits dan KHI.
c.      Terjadinya li’an ada dua macam yaitu jika seorang suami menuduh istrinya berzina namun ia tidak dapat menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya dan suami yang tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai benihnya.
 

DAFTAR PUSTAKA

Djamaan Nur, Drs.H. Fiqih Munakahat. Dina Utama Semarang. Semarang.
Rahmat Hakim, Drs.H. Hukum Perkawinan Islam. CV Pustaka Ceria. Bandung. 2000
Saiyyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Pena Pundi Aksara. Jakarta. 2006

       
    
      



[1] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, hlm182
[2] Ibid
[3]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Pena Bundi Aksara, Jakarta, hlm 213


[4] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama Semarang, hlm 164
[5] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar