Kamis, 30 September 2010

TIGA TIPE HAKIM (HADITS AHKAM)

BAB I
PENDAHULUAN

    Ijtihad  menurut bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara yang berat dan sulit. Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqh adalah upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari (dengan dugaan kuat) hukum syara', sampai dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakan.
Mujtahid harus memenuhi dua syarat yaitu:

1. Mampu mengetahui ilmu lugha (bahasa) dan nahwu yang mencukupi
2. Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara'

           ijtihad itu hukumnya fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari keberadaan mujtahid. Apabila suatu kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum muslim berdosa. dengan adanya seorang mujtahid atau lebih pada satu masa maka akan menggugurkan kaum muslimin pada masa itu. Hal ini bisa ditetapkan dua aspek

  1. Sesungguhnya nash-nash syariat islam mengharuskan adanya ijtihad dari kaum muslim, karena nash-nash tersebut tidak datang secara rinci. bahkan nash-nash terperinci pun tidak mengcakup seluruh masalah yang Qath'i.
  2. Adapun aspek kedua, maka berbagai kejadian di dalam kehidupan ini senantiasa baru dan terus berkembang. Selama tidak mengerahkan segala kesun gguhan untuk menggali hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kita tidak akan bisa menerapkan hukum syara' terhadapnya. Karena kita mengetahui bahwa nash-nash telah menunjukkan secara sempurna atas wajibnya menerapkan hukum syara' pada setiap masalah. Allah swt berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 49 yang artinya: " Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang di turunkan Allah (Q.S.Al-Maidah ayat 49).
          Begitu pula Nabi Muhammad SAW mengizinkan untuk menggunakan pertimbangan akal pikiran dalam masalah-masalah keagamaan . Perizinan  tersebut diundangkan secara terang-terangan dalam haditsnya. Hadits yang di anggap basis perizinan ijtihad ini adalah hadits Mu'as Bin Jabal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
"Hafash Bin Umar telah meriwayatkan kepada kita yang di terima dari Syu'baauk Himsh, dari para sahabatMu'as Bin Jabal bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu'as ke Yaman, beliau bertanya," Bagaimanaengkaumengadili permasalahan yang diajukan padamu?Mu'as menjawab saya akan mengadilinya denganKitabullahqur'an),Rosulullah SAW bertanya lagi bagaimanaa bila engkau tidak mendapat petunjuk dariKitabullah? Mu'as menjawab saya akan mengadilinya dengan Sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanyalagiBagaimana jika engkau tidak mendapatkan petunjuk di dalam Sunnah Rasulullah dan dalam Al-Qur'an ?" Mu'as menjawab,"kalau begitu, saya akan menggunakan pertimbangan akalku  (berijtihad) tanpamembatasinya". Kemudian rasul menepuk punggung Mu'as Bin jabal sambil berkata,"Segala puji bagitelah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya sebagaimana yang dikehendaki Allah yang (Al- " (H.R.Abu Dawud).
       Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi SAW membenarkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan As-sunnah secara eksplisit.



BAB II

PEMBAHASAN
A. TIGA TIPE HAKIM 
  1.   Terjemah Hadis
                   diriwayatkan dari Buraida r.a da berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Hakim itu ada tiga macam ,yaitu dua orang berada (akan menjadi penhuni) Neraka dan seorang lagi berada di Surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, kemudian ia kmenetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebutmaka dia berada di Surga, Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, etapi tidak menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut dan menyimpan dari kebenaran di dalam menetapkan hukum maka dia berada di Neraka, dan seorang hakim yang tidak mengerti kebenaran kemudian menetapkan hukuman berdasarkan ketidak tahuannya itu maka ia berada di neraka . (H.R.Imam Empat  yang dinyatakan shohih oleh Al-Hakim).
2. Penjelasan 
     Islam sangat menghormati dan sangat mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi serta menganggap mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi. Apabila tujuan mereka
adalah memperoleh kehidupan dunia ,mereka telah menghianati para Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya " Hormatilah para ulama, sebab mereka adalah pewaris para Rasul. Barang siapa yang menghormati mereka , maka berarti mereka telah menghormati Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Khatib dari Jabir).
3. Pemahaman kandungan hadis
  • Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut,
  • Ancaman pi neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran , tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
  • Perumpaman hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran itu, bagaikan orang bodoh yag menetapkan hukum dengan kebodohannyandan kedudukannya adalah di neraka.
  • Orang bodoh tidak memenuhi persyaratan seorang hakim)yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, maka dia terancam oleh api neraka.
  • Keputusan hakim yang tidak diberlakukan adalah keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
B. PERLUNYA KESTABILAN JIWA HAKIM
      An abi Bakrataa radiayallahu anhu qala:sami'tu rasulullah Saw yaqulu: La yahkum ahadun  baina stnaini      wa huwa gadban
  1. Terjemah hadits
           "diriwayatkan dari Abi bakrah R.a katanya, aku telah mendengar Rasulullah  SAW bersabda,             janganlah kamu memutuskan hukuman di antara dua orang dalam keadaan marah".                       (muttafaqah alaih) 

   2. Kajian kebahasaan
  •  La Yahkum ahadun yakni ungkapan berita yang menunjukkan larangan
  • Gadbhan kata ini termasuk sighah mubalaghah yang menyatakan kondisi marah yang berlebihan. Dengan demikian, kenyataan ini tidak berarti bahwa ketika memutuskan suatu pengaduan  seorang hakim tidak memiliki emosi sama sekali
   3. Penjelasan Umum
             Keadilan adalaah faktor penopang kemakmuran dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan  
       kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena dibawah lindungan             keadilan    itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari pemerasan dan kekuasaan tangan- 
 tangan zalim. Di bawah lindungan keadilan, orang lemah dapat menjadi kuat dalam menghadapi kebathilan yang dilancarkan oleh orang-orang kuat yang zalim dan di bawah sinar keadilan itu pula di daam kehidupan dapat menjanjikan kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah kekuatan sinar keadilan ini pula, gema penyimpangan dan penyelewengan menjadi sirna.
        Kenyataan ini dapat terealisasikan kalau pelaku keadilan itu berada di dalam kondisi sadar terhadap berbagai pengaduan dan pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehinnga ia dapat bersikap penuh objektif yag akurat, analisis yang cermat, terbebas dari unsur-unsur penyimpangan yang dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan oleh hawa nafsu,tidak tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari kecenderungan dan kepentingan tertentu yag dapat merusak keadilan dan menimbulkan ketidak tentraman dan gejolak ketidakpuasan di antara sesama manusia.
        Oleh karena itu, pelaku penegak keadilan seperti hakim harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap tertentu yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus suatu pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan. Umpamanya seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan dirinya untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dalam kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau kondisi-kondisi ketidakstabilan lainnya.

4. Pemahaman Kandungan Hadits
  • Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah
  • Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
  • Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari estabilan kondisi seperti lapar atau kenyang dan perasaan yang sedih yang berlebihan.
  • Di dalam hadis tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
  • Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat di terima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian.
              
            








Tidak ada komentar:

Posting Komentar