Rabu, 24 November 2010

Study Kasus kewarisan (Law of Heir)

By     : Roslindawati Mustafa

Nim   : 08 211 025



 Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya.
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain.
Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat.
Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya.
Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan masalah hak opsi di dalam pembagian warisan, sebagai contoh misalnya apabila ada dua pihak yang bersengketa. Pihak yang pertama beragama Islam, sedangkan pihak yang kedua beragama Khatolik. Kedua orang ini adalah saudara kandung, pihak yang beragama Islam berjenis kelamin laki-laki, sedangkan pihak yang beragama Khatolik berjenis kelamin wanita.
Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama Khatolik adalah Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang beragama Khatolik ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang berarti menggunakan dasar Hukum Perdata.
Pihak yang beragama Khatolik ini telah mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri, akan tetapi oleh Pengadilan Negeri tidak diterima dengan alasan bahwa pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Agama.
Untuk menentukan siapa yang berwenang mengadili kasus ini adalah wewenang Pengadilan Negeri. Oleh karena itu pertama kali para pihak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Setelah Pengadilan Negeri memutuskan Pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perkara itu, barulah masalah waris itu diselesaikan.
Apabila Pengadilan Negeri memutuskan bahwa masalah sengketa warisan tersebut merupakan wewenang Pengadilan Agama maka disini Putusan diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 176 KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang menentukan bahwa “agian anak laki-laki adalah dua berbanding satu anak perempuan.”dan disini penulis berpendapat  karena kasus ini diselesaikan melalui pengadilan Agama maka dengan adanya perbedaan agama di antara kedua belah pihak yang bersengketa maka saudara perempuan yang beragama khatolik ini tidaklah berhak mendapatkan bagian harta warisannya (terhalang di dalam kewarisan) karena adanya perbedaan agama. Dan Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadis yang artinya “seorang muslim tidak dapat mewarisi peninggalannya kepada orang kafir, dan sebaliknya orang kafir tidak dapat mewarisi harta peninggalannya dari orang muslim”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar